Jumat, 08 Agustus 2008

Pemulung Misterius




Laki-laki berbaju kumal dan bertopi lusuh itu masih saja di sana. Danang menatapnya dengan tatapan penuh curiga. Sudah seminggu ini pemulung itu mangkal di ujung jalan dekat kompleks perumahan tepat Danang tinggal. Gerak-geriknya sangat mencurigakan. Pemulung itu selalu berdiri dekat bak sampah dan mengais-ngais barang-barang yang sekiranya akan laku untuk dijual. Namun, yang aneh adalah pemulung itu selalu sajaberdiri di tempat yang sama pada jam sama, jam Danang pulang sekolah.

Danang sering melihatnya ketika ia pulang sekolah. Dengan tatapan curiga ia amati gerak-gerik si pemulung misterius itu. Kadang-kadang pemulung itupun mengetahui kalau dirinya sedang diamati oleh Danang. Pemulung itupun sempat melempar senyumnya kepada Danang. Danang justru ketakutan dengan hal itu. Ia mempercepat langkahnya. Ia takut pemulung itu akan berbuat jahat kepada dirinya.

Danang mulai terganggu dengan keberadaan pemulung misterius itu. Setiap pulang sekolah ia memilih memutar jalan lain demi menghindari bertemu dengan pemulung misterius di jalan yang ia lewati. Agak jauh, memang. Karena ia harus mengambil jalan memutar kompleksnya agar sampai di rumahnya. Akibatnya sekarang ia sekarang sering terlambat pulang ke rumah. Di rumah, ibu yang keheranan melihat Danang yang tidak biasanya pulang ke rumah bertanya kepada Danang.

“Tumben kamu pulang terlambat, Danang. Ada apa? Kamu main ke rumah temanmu dulu ya?” selidik Ibu.

“Nggak kok, Bu. Danang sebenarnya langsung pulang ke rumah, tapi Danang jalan memutar dulu. Jadi Danang terlambar sampai di rumah,” jelas Danang.

“Lho, kenapa kamu harus memutar jalan? Memangnya jalan yang biasa kamu lewati sedang diperbaiki?” tanya ibu lagi.

“Nggak sih, Bu? Hanya saja sudah beberapa hari ini di ujung jalan dekat tempat pembuangan sampah ada seorang pemulung yang kelihatannya misterius sekali. Setiap hari ia ada di situ setiap Danang pulang sekolah. Danang kan jadi takut, Bu?” tambah Danang lagi.

“Masa sih? Ah, mungkin itu pemulung biasa yang mencari barang-barang yang masih bisa dipakai,” ujar ibu Danang.

“Tapi gerak-geriknya mencurigakan, Bu. Danang takut. Ia selalu menengok kesana kemari, sepertinya sedang mencari sesuatu. Jangan-jangan dia pencuri yang menyamar menjadi pemulung, Bu? tukas Danang.

“Danang, tak baik berburuk sangka seperti itu. Kalau Danang takut lewat di jalan itu, pulanglah bersama teman-temanmu agar aman,” nasehat ibu Danang,

“Iya, Bu.” Danang masih saja penasaran dengan keberadaan pemulung itu.

Danang berencana mulai besok ia akan pulang bersama Heri dan Eko, teman satu sekolah sekaligus tetangganya di kompleks perumahan ini.


* * * * *

Di sekolah Danang membicarakan hal tentang pemulung misterius itu dengan Heri dan Eko. Ternyata heri dan Ekopun merasakan ketakutan dan kecurigaan yang sama. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan pemulung itu.

“Iya, aku juga curiga pada pemulung itu. Jangan-jangan ia adalah salah satu dari kawanan perampok yang bertugas mengawasi rumah-rumah yang akan mereka jadikan sasaran,” ucap Heri dengan ekspresi muka serius.

“Wah, gawat. Berarti kompleks rumah kita ada dalam bahaya, nih?” sahut Eko.
“Kita lihat saja dalam beberapa hari ke depan, jika ada kejadian perampokan, kita patut curiga dengan keberadaan pemulung misterius itu.” ujar Danang.

Siang harinya mereka pulang bersama-sama melewati jalan biasa. Mereka memberanikan diri melewati jalan itu karena mereka tak ingin kecapekan melewati jalan memutar. Mereka berharap dengan pulang bersama-sama mereka akan aman-aman saja.

Danang, Eko, dan Heri berbincang dan bercanda di sepanjang jalan. Mereka membicarakan pertandingan sepakbola antar sekolah minggu depan. Kebetulan ketiganya masuk tim inti. Tiba-tiba dari depan mereka di hadang oleh sekelompok anak-anak berandalan. Mereka agaknya lebih besar daripada Danang, Heri, dan Eko.

“Serahkan uang saku kalian pada kami, cepat,” bentak salah satu anak yang berambut keriting dan berkulit hitam.

Danang bergidik ketakutan. Di sakunya memang ada sejumlah uang. Tapi itu bukan uangnya sendiri, melainkan uang kas kelasnya. Ia memang bertugas sebagai bendahara di kelasnya.
“Kami tidak punya uang!” bentak Eko dengan berani.

Namun anak-anak berandalan itu justru kian berani. Ia mencengkeram kerah baju Eko. Danang dan Heri tak bisa berbuat apa-apa. Badan mereka jauh lebih kecil dibandingkan badan anak-anak berandalan itu. Di saat kepanikan melanda ketiganya. Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara lantang seseorang.

“Hei, lepaskan anak itu!” seru suara itu. Spontan semuanya menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata itu adalah pemulung yang sering berdiri mengais-ngais di bak sampah.

Anak-anak berandalan itu spontan kaget dan melarikan diri terbirit-birit demi mendengar bentakan pemulung itu.

Danang dan Heri masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Justru Eko yang buru-buru mengucapkan terima kasih kepada pemulung itu.

“Terima kasih atas pertolongan bapak, kalau tidak bapak entah apa yang terjadi pada kami bertiga,” ucap Eko.

“Sama-sama, Nak. Lain kali jika kalian diganggu lagi, berteriak saja, Bapak ada disekitar sini dan akan siap menolong kalian.” balas pemulung itu dengan tersenyum samar. Sesaat setelah itu pemulung itu berlalu dari hadapan ketiganya. Danang, Heri, dan Eko semakin heran dibuatnya.

“Ternyata dia baik ya, Her! Aku pikir dia orang jahat, ternyata dia malah justru menolong kita,” ujar Eko.

“Tapi menurutku tingkahnya tetap saja aneh, lihat dia pergi begitu saja sepertinya takut berbicara dengan kita,” sahut Danang.

“Ah, sudahlah, yang penting kita tidak usah takut lagi lewat di jalan ini. jelas-jelas dia bukan penjahat, walaupun tingkahnya aneh begitu,” ujar Heri menengahi.

Akhirnya ketiganyapun pulang dengan masih menyimpan tanda tanya besar tentang pemulung misterius itu. Sejak saat itu mereka memutuskan untuk tetap melewati jalan yang biasa mereka melewati. Dan seperti biasa, mereka masih saja melihat pemulung misterius itu berdiri di tempat biasanya ia mangkal. Namun hal itu tak lagi mengganggu bagi mereka.

* * * * * * * *

Pada hari Minggu, Danang dan dua temannya, Heri dan Eko bermain layang-layang di lapangan dekat kompleks rumah mereka. Lapangan itu juga tak jauh dari tempat biasanya pemulung misterius berdiri. Tapi aneh, sudah sejak pagi sampai menjelang siang hari ini pemulung misterius itu tak tampak lagi. Mungkin pemulung itu sudah pergi ke tempat yang lain, pikir mereka.

Hari mulai panas. Danang, Eko, dan Heri memutuskan untuk beristirahat sejenak. Mereka menuju teras sebuah rumah kosong yang rindang untuk beristirahat. Di hari Minggu seperti ini, kalau tidak bermain sepak bola mereka memang senang sekali bermain layang-layang di lapangan yang lumayan luas ini. Ketika sedang asyiknya beristirahat, tiba-tiba mereka mencium bau aneh, seperti sesuatu yang terbakar.

“Her, kamu mencium bau yang aneh tidak?” tanya Eko sambil menyenggol lengan Heri.

“ Iya, bau apa ini ya, seperti rokok atau sesuatu yang terbakar,” balas Heri.

“Sepertinya baunya berasal dari dalam rumah kosong ini, jangan-jangan ada hantunya rumah ini, hhiiyy...” Danang bergidik ketakutan.

“Huh, dasar penakut. Mana ada hantu siang bolong begini,” cibir Heri.

“Iya, sepertinya dari dalam rumah ini, kita intip yuk?” ajak Eko.

Lalu ketiganyapun mengendap-endap dan mengintip ke dalam rumah melalui jendela di samping rumah. Dan ternyata mereka melihat sesuatu yang mengejutkan. Di dalam rumah yang semula konon kosong itu ternyata ada beberapa orang yang sedang duduk-duduk sambil merokok. Selain merokok ada juga yang menyuntikkan sesuatu ke lengannya.

“Ih, ngapain mereka itu?” bisik Danang kepada kedua temannya.

“Wah, mereka sedang pesta narkoba sepertinya?” bisik Eko pula.

“Huh, sok tahu. Darimana kamu tahu mereka sedang pesta narkoba?” cibir Heri.

“Aku pernah melihatnya di televisi, mereka menyuntikkan sesuatu ke lengan mereka sendiri. Itu namanya memakai narkoba,”jawab Eko yakin.

Tiba-tiba tak sengaja Danang menendang kaleng bekas di dekat kakinya. Klontang,,,,,
Sontak semua orang yang sedang duduk-duduk itu menoleh ke arah suara kaleng itu.
“Hei...siapa di situ!” seru salah seorang dari mereka.

“Aduh, Danang. Kamu gimana sih, ketahuan kan. Ayo cepat kita keluar dari sini sebelum mereka melihat kita,” tukas Heri panik.

Lalu ketiganyapun segera berlari keluar dengan terbirit-birit ketakutan. Danang sempat melihat sekilas wajah mereka yang seram-seram dan penuh tato. Danang dan kedua temannya berusaha keluar dari rumah itu. Mereka terus berlari menyelamatkan diri. Gerombolan orang berwajah seram itu terus mengejar mereka.

“Hei, berhenti kalian!” bentak salah satu dari mereka. Karena takut ketiganyapun berhenti. Ketiganya panik dan ketakutan. Mereka kemudian mencengkeram tangan Danang, Heri, dan Eko dan tak membiarkannya lolos lagi. Di saat ketiganya sudah putus asa tiba-tiba mereka mendengar suara letusan yang memekakkan telinga.

“Berhenti, lepaskan ketiga anak itu. Kalian telah dikepung polisi!” seru seseorang.

Danang, Heri, dan Eko menoleh ke belakang. Ternyata di sana telah ada sekumpulan polisi yang siap menodongkan pistol ke arah gerombolan orang-orang seram itu. Yang mengejutkan, salah seorang dari mereka adalah si pemulung misterius.

Akhirnya, para pemuda berwajah seram yang ternyata para pengguna narkoba itu menyerahkan diri pada polisi. Untunglah mereka tidak membawa senjata tajam. Jadi, mereka tak melukai Danang, Heri, dan Eko.

Setelah semuanya diringkus oleh polisi, barulah mereka mendengar penjelasan dari Pak RT yang kebetulan juga berada di situ.

“Untunglah kalian selamat, anak-anak. Ini semua berkat kesigapan bapak-bapak polisi ini, juga komandan penggerebekan ini, Iptu Hendrawan, yang selama ini kalian lihat sebagai pemulung di skitar tempat ini,” ujar Pak RT sambil menunjukke pemulung misterius.

“Hah...jadi, bapak ini seorang polisi?” eko berkata dengan penuh ketakjuban.

“Iya, adik-adik. Maaf kalau selama ini bapak membuat kalian takut setiapkalian melewati jalan ini. Tapi ini bapak lakukan untuk mengintai gerak-gerik para pengguna narkoba yang memang telah menjadi target operasi kami,” jelas Iptu Hendrawan.

“Jadi benar mereka pesta narkoba?” tanya Danang.

“Benar sekali, saat kalian mengintip tadi mereka mungkin sedang menghisap ganja, yang mungkin kalian kira merokok,” jelasnya lagi.

“Tuh, kan. Apa aku bilang, mereka memang pesta narkoba.” ujar Eko.

Semuanya tersenyum. Danang masih takjub dengan peristiwa yang mereka alami baru saja. Yang lebih mengejutkan lagi adalah bahwa pemulung misterius yang tadinya mereka curigai ternyata adalah seorang anggota polisi yang menyamar.

Akhirnya ketiganyapun pulang dengan perasaan puas karena mereka telah mengetahui siapa sebenarnya pemulung misterius itu.

Aku Ingin Seperti Paman Jati



Paman Jati Kusuma. Ya, itulah nama lengkap pamanku. Namun aku biasa memanggilnya Paman Jati saja. Paman Jati adalah adik dari ibuku. Ia seorang pilot angkatan udara (AU). Ia sangat gagah dan pemberani. Ibu sering memperlihatkan foto-foto Paman Jati lengkap dengan seragam pilot kebanggaannya. Hal ini karena kami memang jarang bertemu. Paman Jati selalu saja ditugaskan ke semua tempat di seluruh pelosok Indonesia.

Ibu sering menasehatiku untuk selalu rajin belajar agar dapat meraih cita-cita yang aku imikan seperti halnya Paman Jati. Kata ibu, sejak kecil Paman Jati memang rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat satu di kelasnya, sampai akhirnya ia meraih cita-cita yang ia impikan.

Namun, bagiku menjadi seseorang seperti Paman Jati tidaklah mudah. Aku harus rajin belajar. Itulah masalah besarku. Aku ini termasuk anak yang malas belajar. Aku lebih suka bermain dengan teman-temanku. Ibu sering memarahiku dengan kebiasaanku yang satu ini.

“Andi, kapan kamu belajar? Sedari tadi ibu lihat kamu belum belajar.” tegur ibu suatu saat.
“Iya, Bu. Sebentar lagi. Lagi seru, nih! Lagian besok Andi tidak ada PR kok,” kilahku sambil pandanganku tak lepas dari layar TV.

“Belajar kan tidak hanya kalau ada PR saja, Andi?” ujar Ibu.

“Iya, Bu. Sebentar lagi Andi pasti belajar,” ujarku gusar.

Ibu selalu saja begitu. Memaksa aku untuk belajar di saat aku sedang asyik menonton acara TV kesukaanku. Usai menonton TV, aku mengantuk. Aku segera masuk kamar dan merebahkan badanku di tempat tidur. Aku lupa kalau harus belajar, seperti kata ibu.Tak berapa lama kemudian akupun tertidur.

* * * * *

Keesokan harinya di sekolah.

Pada jam istirahat pertama tiba-tiba Irfa, si ketua kelas memberi pengumuman di depan kelas.

“Teman-teman semua, setelah jam istirahat ini akan diadakan ulangan harian IPA. Kita diberi waktu 30 menit untuk belajar sebentar.” seru Irfan.

Spontan semua teman-teman di kelasku gaduh. Ada sebagian anak yang panik karena merasa tidak siap mengikuti ulangan harian hari itu. Dan aku termasuk salah satunya.

“Lho, kita kan belum diberitahu kalau hari ini akan diadakan ulangan harian?” protesku.

“Aku juga tidak tahu kalau hari ini ada ulangan. Ini perintah dari Pak Harun,” jawab Irfan

“Dan lagi, kalian memang seharusnya setiap hari belajar, tidak hanya kalau ada ulangan saja.” Tiba-tiba saja Pak Harun telah berdiri di dekat pintu kelas sambil membwa soal-soal yang siap untuk dibagikan. Spontan anak-anak duduk tenang dan mulai belajar memanfaatkan waktu yang ada.

30 menit kemudian ulangan IPA benar-benar dimulai. Wajah-wajah cemas tampak diantara teman-temanku. Akupun merasakan hal yang sama. Aku sama sekali tidak siap mengikuti ulangan harian hari ini. Waktu 30 menit tadi menurutku tidak cukup untuk belajar dengan materi ulangan yang begitu banyak.

Seperti yang sudah aku perkirakan sebelumnya, aku tidak bisa mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Harun. Ada beberapa yang bisa aku kerjakan, namun itupun aku tidak yakin benar atau salah.

Sudah dapat ditebak, nilaiku sama sekali tidak memuaskan. Untung ini hanya ulangan harian, pikirku. Kalau ibu tidak tahu, pasti ibu tidak akan memarahiku. Aku menyimpan baik-baik hasil ulangan harian IPA-ku yang sangat buruk itu agar tidak ketahuan oleh ibu.

Di rumah, ibu mulai sering memarahiku karena aku tidak pernah terlihat belajar dan hanya bermain saja. Kadang untuk menghindari kemarahan ibu aku pura-pura belajar sebentar, namun ketika ibu tidak ada, aku kembali bermain.

* * * *

Siang itu sepulang sekolah aku melihat pemandangan yang tak biasa di depan rumahku. Di sana berjejer mobil-mobil tamu. Entah siapa itu. Apa mungkin ada pertemuan keluarga? Pikirku. Setelah memarkir sepeda di samping rumah, aku bergegas masuk. Di ruang keluarga aku lihat om dan tanteku sedang berkumpul. Tapi tunggu dulu. Kenapa Tante Mira menangis? Ibuku juga. Dan Ayah sibuk menenangkan mereka berdua. Sedangkan pamanku yang lain, Paman Jaka melihat berita di TV. Karena penasaran aku bertanya pada ayah.

“Ayah, ada apa ini?” tanyaku.

“lalu ayahpun menjelaskan kalau mereka berkumpul di sini karena sedang menantikan berita mengenai kecelakaan pesawat yang diawaki oleh Paman Jati.

“Hah, Paman Jati kecelakaan?” tanyaku terkejut.

“Iya, sejak kemarin Paman Jati yang menjadi pilot pesawat yang dikirim ke daerah konflik mengalami kecelakaan. Pesawatnya diperkirakan jatuh di daerah pegunungan dan sampai sekarang belum bisa ditemukan. Kita semua di sini masih menunggu berita mengenai kecelakaan itu,” jelas ayah kepadaku.

Aku sedih mendengarnya. Kemudian aku ikut bergabung bersama mereka menantikan berita terbaru mengenai keberadaan pesawat Paman Jati serta tak lupa mendoakannya agar selamat dari kecelakaan itu.

Seminggu telah berlalu. Kabar dari Paman Jati tak kunjung datang. Pesawat itu sulit ditemukan karena medan pegununga yang sulit dilacak. Ada dugaan lain, pesawat yang dipiloti Paman Jati tidak jatuh di pegunungan melainkan di laut. Jadi bangkai pesawatnya sulit untuk ditemukan.

Akhirnya pencarianpun dihentikan karena usaha pencarian sudah menginjak 1 bulan danpesawat belum juga ditemukan. Kami sekeluarga sepakat untuk berkumpul di pangkalan udara tempat Paman Jati berangkat dengan pesawat yang nahas itu dan berdoa di sana.

Kami sekeluarga merasakan kesedihan yang luar biasa, namun kami mengikhlaskan apa yang terjadi dengan Paman Jati. Kami bangga karena Paman Jati gugur dalam tugas. Kelak aku ingin seperti Paman Jati. Menjadi Pilot Angkatan Udara yang pemberani dan tidak takut mengahadapi apapun. Dan untuk itu, mulai sekarang aku akan rajn belajar dan selalu menurut nasehat inu. Aku tidak ingin menjadi anak yang pemalas lagi dan mendapat nilai-nilai yang buruk. Karena aku ingin seperti Paman Jati.

Meira dan Peri Hujan


Sore itu langit sangat gelap. Awan berkumpul berarak beriringan. Anginpun berhembus agak kencang. Udara mulai dingin. Tak berapa lama kemudian hujan turun. Mula-mula hujan gerimis, namun semakin lama hujan turun semakin deras. Tak hanya itu, petir dan kilatpun ikut menyambar-nyambar. Angin berhembus sangat kencang.

Di sebuah rumah, di sudut sebuah kamar. Seorang gadis kecil sedang menatap hujan yang turun dari balik jendela kamarnya dengan wajah menyiratkan kekecewaan. Gadis kecil itu bernaam Meira. Ia kecewa sekali hujan turun sore ini. Tadinya Meira dan keluarganya akan pergi ke pusat perbelanjaan untuk membeli tas baru untuk Meira. Namun karena hujan turun sangat deras, ayah Meira memutuskan untuk membatalkan acara pergi ke pusat perbelanjaan.
Meira sangat kecewa. Keinginannya untuk segera memiliki tas baru gagal. Ini semua gara-gara hujan, gerutunya. Ibunya yang melihat Meira kecewa berusaha menghiburnya.

“Sudahlah, Meira. Besok kalau sudah tidak hujan kita pergi mencari tas untuk kamu, : ujar ibunya sambil membelai kepala Meira.

“Tapi Meira sudah terlanjur bilang ke teman-teman, bu. Kalau Meira besok akan memakai tas baru,” ujar Meira sedih.

“Tapi Meira lihat sendiri, kan? Hujan deras begini, berbahaya kalau kita keluar rumah, lebih aman kita berdiam diri di dalam rumah. Kamu menonton kartun kesukaanmu saja, ya? Tuh, ibu sudah buatkan susu coklat hangat kesukaannmu.”

“Nggak mau, Meira mau tidur saja, ah!. Meira merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ibu tahu Meira marah. Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sementara itu hujan di luar turun semakin deras. Susu coklat yang disiapkan ibu telah dingin. Dan Meira tetap tidak mau meminumnya.
* * * * * *

Keesokan harinya Meira berangkat sekolah dengan malas-malasan. Ia sama sekali tidak bersemangat. Itu gara-gara ia masih memakai tas lamanya. Padahal ia sudah tlanjur bilang ke teman-temannya bahwa hari ini ia akan membawa tas baru. Namun karena kemarin hujan dan ia tak jadi membeli tas di pusat perbelanjaan, maka ia masih memakai tas lamanya.
Benar saja, di kelas, Ratih teman sebangkunya menanyakan perihal tas baru itu kepada Meira.

“Mana tas baru kamu, Meira?” tanya Ratih.

“Aku kemarin tidak jadi pergi, habis hujan sih. Jadi aku belum membeli tas itu.” Jawab Meira dengan malu-malu.

“Huu, Meira bohong. Katanya hari ini kamu mau pakai tas baru? Mana?”cibir Anis teman sekelasnya yang lain.

“Aku nggak bohong kok. Kami kemarin memang sudah berencana ke pusat perbelanjaan, berhubung hujan, ayahnku membatalkannya!” jelas Meira dengan agak marah. meira malu dikatakan pembohong oleh teman-temannya.

Sepanjang hari itu Meira tidak bisa konsentrasi ke pelajaran IPA Bu Susi. Ia masih saja marah soal tas itu. Dan kekecewaan Meira tidak di situ saja. Sampai beberapa hari kemudian acara ke pusat perbelanjaan untuk membeli tas tetap saja tertunda karena ayah dan ibu sibuk bekerja dan selalu pulang malam baru hari minggu, Meira mendapatkan tas barunya. Namun Meira sudah telanjur kecewa dan tak tertarik lagi dengan tas barunya itu.

Di hari yang lain, hari ulang tahun Meira, Meira mengundang teman-teman sekelasnya untuk datang ke pesta ulang tahunnya yang ke-9. Segala keperluan pesta telah disiapkan oleh ayah dan ibu Meira. Pesta ulang tahun Meira akan diadakan di kebun belakang rumah Meira yang memang cukup luas dan asri. Di sana nanti akan ada berbagai macam permainan, balon, badut yang lucu dan tentu saja makanan yang lezat. Meira tak sabar menanti saat itu datang.

Di hari yang ditunggu-tunggu, pestapun dimulai. Meira memakai gaun hadiah ulang tahun dari ayahnya. Ia tampak cantik sekali. Meira sangat senang semua teman dan keluarganya bisa menghadiri pesta ulang tahunnya. Pesta yang diadakan di kebun itu semakin meriah dengan munculnya para badut yang lucu.

Sayangnya, pesta yang baru saja dimulai itu tiba-tiba dikacaukan dengan turunnya hujan gerimis yang tiba-tiba saja datang mengguyur. Semua bergegas masuk ke rumah dan menyelamatkan diri. Ada juga yang segera mengangkut makanan-makanan agar tidak basah karena hujan. Akhirnya pestapun dilanjutkan di dalam rumah. Meira tampak sangat kecewa. Pesta di dalam rumah tentu saja tidak seseru pesta di kebun. Sepanjang sisa pesta mukanya cemberut. Badut yang lucupun tidak membuatnya terhibur. Justru membuat Meira semakin kecewa. Semua ini gara-gara hujan, pikirnya.

Sampai malam tiba, Meira masih saja dibuat kesal dengan hujan yang turun dan mengacaukan pestanya. Meira jadi benci sekali dengan hujan.

Tak tahu kenapa tiba-tiba Meira telah ada di suatu taman yang indah, ia keheranan. Di manakah ini? Tiba-tiba seorang peri yang sangat cantik mendekatinya. Peri itu tersenyum padanya. Meirapun membalasnya dengan senyuman pula.

“Hai, Meira! Perkenalkan, aku Peri Hujan. Aku akan membawamu terbang bertamasya ke angkasa.” ujar Peri Hujan kepada Meira.

Belum sempat Meira menyadari keterkejutannya, Peri Hujan tiba-tiba telah membawanya terbang menuju angkasa. Mula-mula Meira ngeri dan takut melihat ke bawah. Tapi lama-kelamaan ia menikmati pemandangan yang terbentang di bawahnya.

“Indah bukan, meira?” tanya Peri Hujan

“Iya, Peri. Indah sekali pemandangan di bawah sana,” tukas Meira takjub.

“Kamu tahu, tidak? Sawah dan kebun yang membentang di sana, juga hutanyang hijau serta bunga-bunga yang bermekaran itu adalah berkat hujan yang senantiasa menyirami mereka hingga mereka dapat tumbuh subur.” Peri Hujan menjelaskan.

“O, ya? Tapigara-gara hujan juga Meora batal membeli tas baru, dan gara-gara hujan juga pesta ulang tahun Meira berantakan.” Meira berkilah.

“Tapi apa jadinya bila tidak ada hujan? Tanaman pasti akan mati, sawah kering dan hutan menjadi gersang. Dan yang menakutkan adalah penduduk kelaparan adan kesulitan air seperti yang terjadi pada mereka.” Peira Hujan menunjukkan Meira ke daerah lain yang tandus dan kekeringan dan terdapat pula bencana kelaparan.

“Jadi, jika Meira sebal dengan hujan yang turun karena mengganggu aktivitas Meira, orang-orang itu justru menantikan kedatangan hujan yang turun,” jelas Peri HUjan lagi.
Meira merenungi kata-kata Peri Hujan. Ia menyadari bahwa hujan memang banyak dibutuhkan oleh banyak orang. Walaupun hujan kadang mengganggu, namun keberadaanhujan tetap dinantikan demi kelangsungan berbagai makhluk hidup. Meira pun mengerti sekarang.

“Iya, peri. Mulai sekarang Meira tidak benci lagi sama hujan. Kasihan orang-orang yang kekeringan jika hujan tidak turun. Pak Tani di sana juga akan senang jika hujan turun menyirami sawahnya.” tukas Meira.

Peri Hujan tersenyum mendengar perkataan Meira. Setelah beberapa saat terbang melintasi angkasa dan melihat pemandangan dari atas, Peri Hujan membawa Meira kembali ke rumahnya.
Dan tiba-tiba saja Meira sudah kembali berada di kamarnya, di tempat tidurnya yang empuk. Apa aku baru saja bermimpi? Pikir Meira. Tapi apapun itu, kini Meira sadar. Ia tak akan menggerutu lagi jika hujan turun. Semua yangdiciptakan Tuhan pasti bermanfaat bagi makhluk hidup, termasuk hujan. Terima kasih Tuhan, terima kasih Peri Hujan yang telah menyadarkan Meira, ucapnya lirih.

hai...

hai...blog ini berisi cerita-cerita anak, baik yang belum maupun sudah diterbitkan, mudah-mudahan dapat menjadi inspirasi-salam